Jumat, 12 April 2013
Jangan Salahkan Daun
angin bertiup, seperti daun yang juga bertumbuh
meliuk, menikmati tarian angin
lalu beberapa gugur karena mengira angin adalah makhluk jahat
beberap bertumbuh, merambat bersama dahan yang berjnji akan selalu kokoh,
meski nyatanya beberapa malah patah lalu tergantikan dengan dahan baru
beberapa merayap dalam gelora tumbuh kembang
aku membayangkan pohon itu segitiga emas
dan daun bertumbuh sesuai fase hidup
melintas dari bawah ke atas
dalam perjalanan itu, adalkalanya angin menghapus memori daun
pada saat diatas, dia lupa rasanya berada dibawah
pada saat diatas, dia tidak lagi tahu rasanya terinjak dan mengais
pada saat diatas, dia tidak tahu bagaimana merasakan sedih
jadi, jangan salahkan angin
Minggu, 25 Maret 2012
Upacara kecil untukmu, tanpa kamu
Lilin merah darah yang ditengah ruangan itu diam, namun gemerlapnya menari dalam alunan sepi.
Kutengok leleran empedu plastik itu membentuk buliran.
Aku terus memandang pada serbuk kayu tua yang pasti kesakitan terkena cairan yang akan beku lagi itu.
Hey, mengapa tak lari saja?
Mengapa suka sekali berdiam lalu menikmati sakit?
Kujentikan jari meleburi buih hari,
Hey, aku begini untukmu tau...
Kutiup hempasan udara untuk padamkan tarian api kecilnya
"Selamat ulang tahun sayang"
*perayaan kecil untukmu, tak mengapa jika kau sedang asik mengalun dalam liukan sibuk atau tengah merangkul dirinya.
Salam dari mimpiku
Kutengok leleran empedu plastik itu membentuk buliran.
Aku terus memandang pada serbuk kayu tua yang pasti kesakitan terkena cairan yang akan beku lagi itu.
Hey, mengapa tak lari saja?
Mengapa suka sekali berdiam lalu menikmati sakit?
Kujentikan jari meleburi buih hari,
Hey, aku begini untukmu tau...
Kutiup hempasan udara untuk padamkan tarian api kecilnya
"Selamat ulang tahun sayang"
*perayaan kecil untukmu, tak mengapa jika kau sedang asik mengalun dalam liukan sibuk atau tengah merangkul dirinya.
Salam dari mimpiku
Mari Kita Bersama
Aku marah. Kamu kecewa. Aku menangis. Kamu meraung. Aku Kamu. Terdiam. Diam diam membangun tembok. Diam diam saling menyingkir. Diam diam menyimpan bara dalam hati. Diam diam menyayat dinding kasih sayang yang terbangun sejak aku kecil. Kasih sayang yang selalu kamu bagikan lewat perhatian pun tatapan cemas tatkala aku tersenggal merayap dalam helaan nafas.
Pesan singkat itu tak seperti yang kamu lihat. Seperti sebuah potret, ia hanya bagian yang tak bisa dilihat hanya satu. Aku terangkai dalam lorong waktu, terbiasa dengan biasamu pun celotehan yang nyatanya punya peranan penting dalam bentukanku kini.
Hey, kamu kecewa? Kamu marah? Kamu terkejut karena nyantanya aku juga miliki taring yang kamu bisikan ketika aku pulas? Aku juga marah, aku juga kecewa.
Ayo kita marah bersama. Biar kobaran api itu mengalah atas nama tali darah yang kita punya. Persetan dengan mereka yang masih mau simpan bara. Jelasnya aku tidak berkenan.
Terimakasih
Pesan singkat itu tak seperti yang kamu lihat. Seperti sebuah potret, ia hanya bagian yang tak bisa dilihat hanya satu. Aku terangkai dalam lorong waktu, terbiasa dengan biasamu pun celotehan yang nyatanya punya peranan penting dalam bentukanku kini.
Hey, kamu kecewa? Kamu marah? Kamu terkejut karena nyantanya aku juga miliki taring yang kamu bisikan ketika aku pulas? Aku juga marah, aku juga kecewa.
Ayo kita marah bersama. Biar kobaran api itu mengalah atas nama tali darah yang kita punya. Persetan dengan mereka yang masih mau simpan bara. Jelasnya aku tidak berkenan.
Terimakasih
Minggu, 12 Februari 2012
Halo Langit Biru
Jendelaku kin tak lagi langsung mengarah pada rembulan di ufuk barat
Jejaring plastik yang entah apa namanya itu menghalangi bias mentari yang biasanya memanggangku hingga pekat
Hai langit biru,
maaf dari sini birumu tak terlihat jelas terhalang pastisi
Hai sinar silau matahari,
Aku rindu tertawa berderai dibawahmu seperti dulu
Rindu ikatan rambut asal tanpa harus terlihat rapi...
Rindu teriakan melangking yang dianggap biasa
Hei, langit biru...
Jangan berubah warna ya
Aku ingin melihat birumu lagi nanti
Biar bisa kuceritakan tentang birumu pada anakku kelaka
Agar kuserahkan dia melangkah sambil ditingkahi panas ombak lalu debu jalanan
Agar ia bisa terbang kelak
Dan tak berlindung dibalik partisi seperti aku
Jejaring plastik yang entah apa namanya itu menghalangi bias mentari yang biasanya memanggangku hingga pekat
Hai langit biru,
maaf dari sini birumu tak terlihat jelas terhalang pastisi
Hai sinar silau matahari,
Aku rindu tertawa berderai dibawahmu seperti dulu
Rindu ikatan rambut asal tanpa harus terlihat rapi...
Rindu teriakan melangking yang dianggap biasa
Hei, langit biru...
Jangan berubah warna ya
Aku ingin melihat birumu lagi nanti
Biar bisa kuceritakan tentang birumu pada anakku kelaka
Agar kuserahkan dia melangkah sambil ditingkahi panas ombak lalu debu jalanan
Agar ia bisa terbang kelak
Dan tak berlindung dibalik partisi seperti aku
Selasa, 06 Desember 2011
Jawabannya Tidak
Selamat malam senja, sudah lupakah kau pada sinar fajar yang selalu muncul di ufuk timur kemarin sore?
Ketika kita masih becanda dalam ketiak pohon cemara yang berdiri kokoh di tepi lembayung?
Hey, mengapa sekarang kau malah menyinari malam? Memangnya kau pikir matahari itu cukup adil bagi bumi? Mengapa tak kembali kemari lalu bermain masak-masakan dengan mangkuk daun seperti yang sering kita lakukan dulu?
Kemari, sini. Tidak kedinginan ya melintas malam-malam? Tidak lelah ya membebani hidupmu dengan target-target itu?
Jika mau terbang malam-malam, ajak aku donk. Kita bergurau lagi. Kamu mau tidak? Sepertinya tidak.
Ketika kita masih becanda dalam ketiak pohon cemara yang berdiri kokoh di tepi lembayung?
Hey, mengapa sekarang kau malah menyinari malam? Memangnya kau pikir matahari itu cukup adil bagi bumi? Mengapa tak kembali kemari lalu bermain masak-masakan dengan mangkuk daun seperti yang sering kita lakukan dulu?
Kemari, sini. Tidak kedinginan ya melintas malam-malam? Tidak lelah ya membebani hidupmu dengan target-target itu?
Jika mau terbang malam-malam, ajak aku donk. Kita bergurau lagi. Kamu mau tidak? Sepertinya tidak.
Kamis, 01 Desember 2011
Percakapan Mata Dengan Hati
Mata : hey banyak yang menarik hati, ayo kita pilih satu untuk dijadikan dambaan
Hati : kamu saja dululah, kan dari mata turun ke hati. Kalau kamu suka pasti aku suka...
Mata : Baiklah, sekarang akan aku pilihkan yg terbaik. Tentu saja menurut perhitunganku. Kalau aku suka kamu pasti suka kan?
Hati : iya mata, apa pun yg kamu suka aku pasti suka
Mata : Hey, kalau yang itu bagaimana? Matanya indah, rahangnya bagus, badannya atletis
Hati : biasa saja, dia menarik. Baiklah akan kutaruh hatiku padanya
Beberapa bulan kemudian :
hati : Hey mata, mengapa kau menangis?
Mata : Hati, tahukah kau orang yang telah kita pilih adalah orang yang salah?
Hati : bagaimana mungkin salah? Dia kan menarik.
Mata : dia orang yang kasar, tidak pedulian, sombong, egois.
Hati : Apaaaa????? Tapi bahkan aku sudah berdoa untuk dia!!!! Kemana doaku?
Mata tidak sanggup menjawab. Bibirnya gemetar tak mau diam, badannya panas dingin. Ada rasa penyesalan pada hati. Kecewa pasti
Sepuluh tahun kemudian,
Ketika yang seharusnya hitam semakin merapuh, ketika yang seharusnya pekat memudar, kekecewaan mata memuncak. Ia menyerah memilih.
Mata : Hati, aku lelah. Semua pilihanku tidak ada yangh tepat.
Hati : Jangan putus asa mata
Mata : Tidak. Aku lelah. Aku malas memilih lagi.
Hati : Lalu aku bagaimana? Aku kan butuh tempat bersandar...
Mata : Aku lelah. Kalau kau mau, pilih saja sendiri.
Mata menyadari suara hati yang mulai mengisak kecil. Mata terbelalak, hatinya menangis. Demi apa pun, rasanya sangat perih.
Mata menunduk,
Hati, sekarang kau boleh pilih yang kau suka. Tapi jangan lagi lihat dari sudut pandangku. Pilihlah sesuai hatimu.
Hati mengerti, di tatapnya dunia dengan cara baru. Bahwa apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang di dalam.
Hati tidak butuh banyak kriteria untuk memilih.
Hati : kamu saja dululah, kan dari mata turun ke hati. Kalau kamu suka pasti aku suka...
Mata : Baiklah, sekarang akan aku pilihkan yg terbaik. Tentu saja menurut perhitunganku. Kalau aku suka kamu pasti suka kan?
Hati : iya mata, apa pun yg kamu suka aku pasti suka
Mata : Hey, kalau yang itu bagaimana? Matanya indah, rahangnya bagus, badannya atletis
Hati : biasa saja, dia menarik. Baiklah akan kutaruh hatiku padanya
Beberapa bulan kemudian :
hati : Hey mata, mengapa kau menangis?
Mata : Hati, tahukah kau orang yang telah kita pilih adalah orang yang salah?
Hati : bagaimana mungkin salah? Dia kan menarik.
Mata : dia orang yang kasar, tidak pedulian, sombong, egois.
Hati : Apaaaa????? Tapi bahkan aku sudah berdoa untuk dia!!!! Kemana doaku?
Mata tidak sanggup menjawab. Bibirnya gemetar tak mau diam, badannya panas dingin. Ada rasa penyesalan pada hati. Kecewa pasti
Sepuluh tahun kemudian,
Ketika yang seharusnya hitam semakin merapuh, ketika yang seharusnya pekat memudar, kekecewaan mata memuncak. Ia menyerah memilih.
Mata : Hati, aku lelah. Semua pilihanku tidak ada yangh tepat.
Hati : Jangan putus asa mata
Mata : Tidak. Aku lelah. Aku malas memilih lagi.
Hati : Lalu aku bagaimana? Aku kan butuh tempat bersandar...
Mata : Aku lelah. Kalau kau mau, pilih saja sendiri.
Mata menyadari suara hati yang mulai mengisak kecil. Mata terbelalak, hatinya menangis. Demi apa pun, rasanya sangat perih.
Mata menunduk,
Hati, sekarang kau boleh pilih yang kau suka. Tapi jangan lagi lihat dari sudut pandangku. Pilihlah sesuai hatimu.
Hati mengerti, di tatapnya dunia dengan cara baru. Bahwa apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang di dalam.
Hati tidak butuh banyak kriteria untuk memilih.
Jumat, 30 September 2011
Bentangan
Dulu Kita Merapat...
Bagai kata,, aku tak ada artinya tanpa kamu
Kita bercerita tentang romansa
Sumringah lalu terbahak
Kita : Aku, kamu terhempaS
Dalam alam berbeda
Kamu kepanasan, aku menggigil
Sahabat, kini kita berjarak
Bentangan ruang ini terlalu jauh
pun dalam bentuk pesan singkat
Tembok yang mendatar terlalu tinggi
Aku kamu, terbagi dua
lalu terbentang
Aku mengangkasa sendirian
dari kejauhan dapat terlihat jelas
taring ungu yang terselip
di ujung lidahmu...
Bagai kata,, aku tak ada artinya tanpa kamu
Kita bercerita tentang romansa
Sumringah lalu terbahak
Kita : Aku, kamu terhempaS
Dalam alam berbeda
Kamu kepanasan, aku menggigil
Sahabat, kini kita berjarak
Bentangan ruang ini terlalu jauh
pun dalam bentuk pesan singkat
Tembok yang mendatar terlalu tinggi
Aku kamu, terbagi dua
lalu terbentang
Aku mengangkasa sendirian
dari kejauhan dapat terlihat jelas
taring ungu yang terselip
di ujung lidahmu...
Langganan:
Postingan (Atom)